Potretntb.com - Ribuan tahun sebelum masehi, manusia pertama yang datang dengan perahu dan menghuni Pulau Sumbawa bagian timur diduga merupakan manusia dari Ras Austromelanesoid. Hal ini kemudian diikuti oleh kedatangan manusia dari Ras Mongoloid dengan cara yang sama.
Ras Austromelanesoid adalah ras yang berkulit gelap dan berambut ikal seperti penduduk awal di kepulauan nusantara lain sedangkan Ras Mongoloid adalah ras yang berkulit kuning dan berambut lurus disebut sebagai Ras Melayu Tua (Proto Malayan).
Ada dua kemungkinan, kemungkinan pertama bahwa telah terjadi pembauran antara Ras Austromelanesoid dengan Ras Mongoloid Melayu Tua di Dompu. Kemungkinan kedua, bahwa kedua ras tidak membaur namun hidup berdampingan secara damai. Kemungkinan ini didasari oleh sebuah fakta. Yakni masih ada sebuah kampung di Dompu yang penduduk aslinya memiliki ciri dominan Austromelanesoid. Demikian juga ada kampung lain yang penduduk aslinya menunjukkan ciri Mongoloid (Melayu Tua). Meskipun jika diamati secara sekilas ciri-ciri fisiknya, orang Dompu Nampak seperti kombinasi antara kedua ras tersebut.
Berdasarkan bukti-bukti arkeologis yang digali oleh Balai Arkeologi Bali, dapat disimpulkan bahwa telah berkembang kebudayaan Austronesia di Dompu. Orang-orang Austronesia identik dengan Ras Mongoloid. Balai Arkeologi Bali menyimpulkan bahwa kebudayaan Austronesia di Dompu masuk melalui dua jalur. Jalur pertama yakni dari Sumatera-Jawa-Bali-Lombok-P. Sumbawa sedangkan jalur kedua datang dari Filipina-Sulawesi-Jawa-Bali-Lombok-P. Sumbawa. Ini menunjukkan dari mana nenek moyang orang Dompu berasal.
Sebagaimana di daerah lain di Indonesia, pemukiman awal di Dompu berada di tepi pantai, yakni pantai Teluk Cempi. Di Kecamatan Hu’u yang terletak di timur Teluk Cempi terdapat Situs Nangasia di mana ditemukan peninggalan prasejarah yang mengindikasikan lokasi tersebut sebagai bekas lokasi hunian sekaligus lokasi ritual agama. Peneliti dari Balai Arkeologi Denpasar (Bali) menyimpulkan bahwa Situs Nangasia adalah situs pemukiman pada masa bercocok tanam. Dalam periodisasi sejarah Indonesia, masa bercocok tanam yang juga disebut zaman perunggu (Paleo Metalik) berlangsung sekitar 2500 – 1500 tahun SM.
Pada fase ini, orang Dompu terbagi atas komunitas-komunitas masyarakat kecil yang tinggal di pemukiman. Menurut Israil M. Saleh, pemukiman awal ini disebut “Nggaro.”[1] Masing-masing komunitas masyarakat itu dipimpin oleh seorang Ncuhi atau seorang Naka. Lama kelamaan, seiring bertambahnya jumlah penduduk, masing-masing “Nggaro” berkembang menjadi sebuah negeri yang lebih besar. Selain itu gelar Ncuhi lebih popular digunakan oleh masyarakat Dompu untuk menggelari pemimpin mereka dibanding gelar Naka.
Berdasarkan data-data arkeologis berupa berbagai situs dan artefak pemujaan megalitik yang ditemukan di Dompu, diketahui bahwa kepercayaan Orang Dompu saat itu adalah animisme dan dinamisme. Mereka percaya kepada kekuatan magis yang tekandung di dalam laut, sungai, mata air, pohon, batu, dan gunung yang dianggap sebagai tempat bersemayamnya arwah nenek moyang. Masyarakat lokal menyebutnya sebagai “parafu ro pamboro.” Para Ncuhi bertindak sebagai pemimpin spiritual masyarakat saat itu, di samping sebagai pemimpin sosial dan politik.
Menurut penelusuran HRM. Agus Suryanto terhadap legenda lokal Dompu yang dituturkan oleh orang tua-tua, pada saat itu ada empat Ncuhi yang paling terkenal di Dompu. Mereka adalah Ncuhi Tonda yang menguasai Negeri Tonda, Ncuhi Nowa yang menguasai Negeri Nowa, Ncuhi Saneo yang menguasai Negeri Saneo, dan Ncuhi Hu’u yang menguasai Negeri Hu’u. Selain itu ada beberapa Ncuhi lagi yang menguasai negeri yang lebih kecil.
Kehidupan penghuni awal Dompu dan P. Sumbbawa bagian timur tetap seperti itu hingga tiba masa terbentuknya Kerajaan Dompu yang diduga terjadi pada Abad ke-6 hingga Abad ke-14 Masehi.
Penulis: Faisal Mawa’ataho
Sumber: Dompu Mantoi