Sumbawa Barat, Potretntb.com - Sebagaimana saya baca di Massmedia hari ini, Adendum antara Pemerintah Provinsi NTB dengan PT. GTI telah ditanda tangani. Itu artinya PT. GTI yang selama ini menurut hukum kontrak telah ingkar janji (Wanprestasi) lebih dari 20 tahun tidak melaksanakan isi kontraknya dengan tidak membangun fasilitas perhotelan dan pariwisata lainnya, sekarang dibukakan karpet merah untuk melenggang meneruskan kontrak yang bermasalah.
Tentu muncul beribu pertanyaan di benak saya, kenapa di era Gubernur Zulkiflimansyah, PT. GTI di berikan karpet merah ?. Ada Apa gerangan ?. Bukankah sejak jaman Gubernur Warsito, Harun AL Rasyid, Drs. H. HL. Srinate, KH. TGB Zainul Majdi karpet itu tidak diberikan ?.
Kita semua tau sejak PT. GTI menanda tangani Perjanjian pengelolaan lahan di Gili Terawangan seluas 60 Ha itu pada era Gubernur Warsito, sampai saat ini PT. GTI tidak pernah melaksanakan kewajibanya tersebut. Dan karena itupula lahan itu dimasuki, dikelola, dipergunakan secara produktif oleh lebih dari 300 KK yang beranak pinak menjadi ribuan orang selama berpuluh puluh tahun sampai saat ini.
Masyarakat membangun berbagai fasilitas pariwisata (Home Stay, Restoran, dan lain - lain) yang sangat mendukung kebutuhan wisatawan yang berkunjung ke Gili Trawangan).
Mungkin itulah pertimbangan para gubernur sebelumnya tidak mau mengurus lagi soal GTI karena jika memberikan kesempatan GTI untuk melakukan ademdum (Kontrak yang Wanprestasi) dan kemudian GTI akan masuk ke lahan yang sudah dikelola oleh masyarakat berpuluh puluh tahun, entah apa yang akan terjadi.
Bayangkan saja ketika PT. ITDC di Kawasan Mandalika, menghadapi hanya puluhan orang yang menggugat memprotes atas penggusuran, betapa repotnya Pemda Lombok Tengah, ITDC dan aparat menghadapinya sampai berujung ke Komnas HAM.
Apalagi nantinya terjadi hal tersebut di lahat PT. GTI yang ribuan penghuninya dari anak anak sampai kakek kakek. Pernahkan dibayangkan ?
Makanya saya yakin gubernur sebelumnya punya pikiran yang lebih komprehensip, bahwa jauh lebih mudarat memberikan adendum kepada GTI karena akan menimbulkan konflik horizontal yang merugikan keamanan yang sudah terjaga dengan baik dikawasan Gili Tersebut.
Coba Pemda Propinsi melakukan pembelajaran terhadap kasus yang terjadi pada PT. WAH di Gili Terawangan yang berkonflik dengan masyarakat yang tanahnya dikuasai masyarakat. Padahal luas lahan PT. WAH hanya 8 HA tapi konflik itu begitu berkepanjngan yang berujung ke Pengadilan, dan PT.WAH pun tidak nyenyak tidur waktu membangun sehingga berahir dengan mediasi dengan bantuan Pemda KLU.
Kenapa model itu tidak digunakan oleh Pemprov NTB ?
Saat ini masyarakat sudah dipanggil ke kantor Kejaksaan NTB untuk menanda tangani pernyataan, akan tetapi masyarakat tidak mau menanda tangani Surat Pernyataan untuk meninggalkan lokasi meskipun dikasi waktu dan kesempatan menempati dan mengelola tempat usahanya 12 bulan, dan bersedia meninggalkan lokasi tersebut tanpa ganti rugi.
Penolakan ini sebenarnya sudah menjadi sinyal awal perlawanan terhadap apa yang terjadi kelak antara masyarakat dengan Pemerintah dan aparat penegak hukum.
"Selamat berfikir secara cerdas"
Penulis: A'an Pemuda Sumbawa Barat