Peran Kesultanan Bima Dalam Perang Makassar (Part 1)

Header Menu

Cari Berita

Iklan Media



Peran Kesultanan Bima Dalam Perang Makassar (Part 1)

Minggu, Desember 19, 2021

Bima, Potretntb.com -- Sejak awal seperempat kedua Abad XVII, Kesultanan Bima telah menjadi aliansi strategis Kesultanan Gowa. Gowa telah membantu Jena Teke (Putera Mahkota Kesultanan Bima) bernama La Ka’i untuk merebut kembali haknya sebagai raja Bima, sekaligus menggulingkan kekuasaan Raja licik La Salisi yang bergelar Mantau Asi Peka. Meskipun pada kenyataannya gerakan Mantau Asi Peka baru benar-benar berhasil ditumpas pada tahun 1640. Pada tanggal 5 Juli 1640, La Kai atau Sultan Abdul Kahir dilantik kembali menjadi sultan setelah Mantau Asi Peka dikalahkan untuk selamanya.

Sultan Abdul Kahir dinikahkan dengan Daeng Sikontu, ipar dari Sultan Gowa Ala’uddin (1593-1639). Daeng Sikontu adalah anak dari Karaeng Kasuarang, Daeng Melu, salah seorang bangsawan terkemuka di Gowa. Dari pernikahan antara Sultan Abdul Kahir dan Daeng Sikontu inilah kemudian lahir seorang putera yang diberi nama I Ambela yang kelak menjadi Sultan Abil Khair Sirajuddin (1640-1682). 

Pernikahan ini sebenarnya adalah penikahan politis, yang bertujuan menyatukan bangsawan Bima dengan bangsawan Gowa dalam sebuah ikatan darah. Dan terbukti, garis keturunan bangsawan Gowa yang kental dari pihak ibunya, membuat Sultan Abil Khair Sirajuddin sangat dekat dengan Gowa. Ia juga mendapatkan tempat khusus di tengah para pembesar Kesultanan Gowa. Sultan Abil Khair Sirajuddin dari Bima adalah pemimpin sayap pasukan laut Gowa yang berisi gabungan pasukan yang berasal dari kerajaan-kerajaan di Pulau Sumbawa. Peran ini senantiasa dilakoni oleh Sultan Abil Khair Sirajuddin dalam perang Makassar.

Perang Makassar terjadi pada tahun 1666-1667 dengan melibatkan Kesultanan Gowa-Tallo dan kerajaan-kerajaan bawahannya melawan VOC Belanda yang dibantu oleh Kesultanan Ternate, Kesultanan Buton, dan Aru Palakka, putera Raja Bone ke-11 Sultan Adam La Tenriruwa. Perang ini menjadi ajang unjuk ketangguhan strategi perang antara bangsa-bangsa di Sulawesi untuk melawan keserakahan Verenidge Oost-indische Compagnie (VOC). Dalam perang ini, VOC memanfaatkan konflik tradisional antara Kerajaan Gowa dengan Kerajaan Bone, Kesultanan Buton, dan Kesultanan Ternate untuk keluar sebagai pemenang. VOC berhasil mengadu domba di antara kerajaan-kerajaan itu.

Sebelum meletusnya Perang Makassar, hubungan Gowa dengan VOC sudah lebih dahulu memanas. VOC ingin mengeruk untung sebesar-besarnya dari perdagangan rempah-rempah di timur Nusantara. Namun Kesultanan Gowa senantiasa menghalangi tujuan VOC ini, sebab Gowa tetap membuka hubungan perdaangan dengan Portugis, Spanyol, dan Denmark yang merupakan saingan berat Belanda. 

Gowa mendapatkan keuntungan besar dari perdagangan ini. Selain itu, Gowa senantiasa membantu  rakyat Maluku melawan penjajahan VOC dan seringkali mengancam sekutu-sekutu VOC seperti Kesultanan Buton dan Kesultanan Ternate. Walaupun sebenarnya VOC telah berkali-kali berusaha menjerat Gowa dengan perjanjian-perjanjian yang bertujuan untuk memperkuat kedudukan VOC dalam memonopoli perdagangan rempah-rempah serta untuk memperlemah keadaan militer Gowa, namun tujuan itu tidak pernah tercapai karena Gowa adalah sebuah Negara yang sangat lihai dalam diplomasi. Hal ini menyebabkan muncul letupan-letupan kecil konflik antara keduanya.

(Bersambung)

Penulis: Faisal Mawa'ataho