Bima, Potretntb.com -- Meskipun laskar Bugis telah berpihak kepada musuh namun laskar Gowa yang dibantu oleh Datu Luwu Sultan Alimuddin dan Sultan Bima Abil Khair Sirajuddin itu bertempur dengan gagah berani. Dalam pertempuran itu turut juga Perdana Menteri Kesultanan Bima La Mbila Mambora di Buton dan Perdana Menteri Kesultanan Dompu Abdul Rasul Bumi so Rowo. Pasukan Gowa dipimpin oleh Karaeng Bontomaranu dan dibantu oleh para raja vassal Gowa bertempur hingga titik darah penghabisan melawan VOC Belanda dan sekutu-sekutunya.
Sultan Bima, Abil Khair Sirajuddin, bertempur sambil menunggang kuda legendaris jara manggila. Namun perlawanan itu, baik di darat maupun lautan, dapat dipatahkan oleh pasukan gabungan VOC dan sekutunya akibat pembelotan laskar Bugis yang berbalik menyerang pasukan Gowa dan pasukan Sultan Buton La Simbata (1664-1669) yang menyerang pasukan Gowa dari arah daratan. Perang di Buton itu akhirnya diungguli oleh VOC dan sekutu-sekutunya. Perdana menteri La Mbila gugur dalam pertempuran itu sehingga ia dianugerahi nama anumerta Mambora di Buton, yang wafat di Buton.
Karena pasukan Gowa terdesak dan tak punya kemungkinan menang, akhirnya pada tanggal 4 Januari 1667, Karaeng Bontomaranu, Datu Luwu, dan Sultan Bima berunding dengan Speelman. Ketiganya setuju untuk menyerah kepada Speelman dan menjadi tawanan sampai ada keputusan berikutnya. Hasil lain perundingan itu adalah bahwa Datu Luwu dan Sultan Bima tidak akan ditempatkan lagi di bawah kekuasaan Gowa. Artinya sejak saat itu, Kesultanan Bima bukan lagi palili’ (vassal) dari Gowa. Sebagai konsekwensi menyerahnya Karaeng Bontomaranu, seluruh pasukan Gowa menjadi tawanan.
Sebanyak 5000 laskar Bugis yang semula berpihak kepada pasukan Gowa diserahkan kepada Aru Palakka, kurang lebih 4.500 orang lainnya yang merupakan laskar Makassar ditempatkan di sebuah pulau kecil di Selat Buton yang dinamakan Pulau Makassar, dan 400 orang dijadikan budak VOC. Adapun pasukan Bima yang tertangkap juga ditempatkan di Pulau Makassar bersama tawanan Makassar.
Pada bulan Juni 1667, Perang Makassar masih berlanjut di perairan Makassar dan daratannya. Setelah mengalahkan pasukan Karaeng Bontomaranu, Speelman sempat menuju Ternate dan berhasil membawa tambahan pasukan Ternate, Bacan, dan Tidore yang dipimpin langsung oleh penguasa Ternate, Sultan Mandarsyah (1655-1675). Mereka bertugas mengepung Makassar dari arah lautan. Sedangkan Aru Palakka bersama pasukan Bone dan Soppeng bertugas untuk menyerbu dari arah darat. Setelah dua bulan pengepungan terhadap Makassar, Speelman mendapat bantuan 5 kapal perang lagi dari Batavia di bawah pimpinan Kapten Pierre Dupon. Hal ini membuat pertahanan Kesultanan Gowa semakin terdesak. Melihat hal tersebut, Speelman menawarkan sebuah perundingan. Sultan Hasanuddin pun setuju untuk berunding.
Setelah beberapa kali perundingan yang alot, akhirnya pada tanggal 18 November 1667 Speelman dan Sultan Hasanuddin menyepakati sebuah perjanjian di sebuah tempat bernama Bungaya. Kesepakatan yang dinamai sebagai Perjanjian Bungaya ini akhirnya benar-benar mewujudkan keinginan VOC untuk memperoleh monopoli penuh atas perdagangan rempah-rempah, pasukan Gowa dilucuti dan benteng-bentengnya harus dihancurkan, serta Gowa harus melepaskan kekuasaannya atas kerajaan-kerajaan di Pulau Sumbawa, Buton, dan semua kerajaan di daratan Sulawesi.
Empat bulan setelah Sultan Hasanuddin menyerah, menyusul Sultan Tallo Harun Arrasyid dan Karaeng Langkese setuju untuk menyerah. Sedangkan perdana menteri Gowa Karaeng Karunrung tidak sudi untuk menyerah dan terus melanjutkan perlawanan hingga iapun terpaksa menyerah pada tanggal 27 Juni 1669. Berakhirlah perang Makassar yang sangat dahsyat itu dengan kemenangan VOC dan sekutu-sekutunya.
Keterlibatan Sultan Abil Khair Sirajuddin bersama pasukannya dalam Perang Makassar setidaknya dipicu oleh faktor-faktor berikut:
(Bersambung)
Penulis: Faisal Mawa'ataho