Dana Mbojo Negeri Para Guru (Part 1)

Header Menu

Cari Berita

Iklan Media



Dana Mbojo Negeri Para Guru (Part 1)

Minggu, November 21, 2021

Bima, Potretntb.com -- Ada yang menarik dari testimoni Bang La Tofi dan Paox Iben pada perhelatan Mbojo Writers Festival 2021, bahwa Bima adalah Negeri Para Guru. Bang Khairuddin M. Ali dan Bima TV Digital memprakarsai Talk Show rutin model ILC di bukit Jati Wangi dengan topik perdana “Dana Mbojo Negeri Para Guru“. 

Bima merupakan tempat persinggahan berbagai aliran dan arus peradaban sejak dulu. Teluk Bima adalah magnet para pelaut, pedagang, pemuka agama. Abad VIII Masehi para guru Hindu dan Budha telah berdatangan di Bima dan mungkin saja jauh sebelum itu. Catatan yang sementara ini ada adalah situs Wadu Pa'a berangka tahun 631 Saka atau 709 Masehi. Tidak mungkin situs semegah itu dibuat oleh sembarang orang, pastilah mereka yang berpengaruh dan berilmu. Ya...mereka adalah guru. Menurut para arkeolog Wadu Pa’a tidak dipahat atau dibangun dalam satu era atau zaman. Proses pembuatan relief dan stupa di Wadu Pa'a dilakukan secara bertahap sejak abad VIII  hingga abad XIV Masehi.

Situs Wadu Tunti Padende memberi bukti bahwa para guru telah menoreh catatan penting bagi sejarah Bima. Wadu Tunti dengan relief dan aksara Jawa Kuno adalah bukti kehadiran para guru dalam peradaban Bima. Pada abad XIV Raja Manggampo Donggo mendatangkan Ajar Panuli seorang guru dari Majapahit yang memperkenalkan pembuatan batu bata dan penulisan dengan aksara Bima. Meskipun sempat hilang akibat kebijakan Sultan Bima II Abdul Khair Sirajuddin yang memerintahkan penulisan BO ke dalam aksara Arab Melayu, namun kini aksara Bima dapat dipelajari oleh generasi. 

Abad pertengahan ( antara abad XV- XVI ) para guru berdatangan silih berganti. Babad Tanah Lombok mencatat misi Sunan Prapen ke Bima tahun 1540 Masehi. Meskipun proses islamisasi ini gagal, namun para guru dan mubaliq telah berdatangan di Bima. Berita dari Ternate menyebut pada masa Sultan Baabullah (1570-1583 ) para mubaliq dari Ternate sudah datang di Bima untuk berdakwah sambil berdagang. Sebaliknya para pedagang Bima sudah ke Ternate menjual berbagai produk dengan sistim barter. Langgar Kuno Melayu yang diperkirakan dibangun pada tahun 1608 Masehi juga adalah bukti kehadiran para guru di tanah Bima. Menurut penuturan warga, pendiri Langgar Kuno adalah para mubaliq dari Minangkabau. Mereka telah mendiami pesisir teluk Bima sambil berdagang. 

Abad XVII menjadi cakrawala baru peradaban Bima. Misi islamisasi sangat gencar melalui Sulawesi ( Gowa-Tallo). Kemelut Politik kerajaan Bima menjadi pintu gerbang bagi perubahan sistim pemerintahan kerajaan kepada kesultanan. Dua ulama besar, Datu ri Bandang dan Datu ri Tiro diboyong oleh Abdul Kahir I untuk menyiarkan agama islam di tanah Bima. Di masa sultan kedua Abdul Khair Sirajuddin enam ulama hadir seperti oase dalam kegersangan. Mereka adalah Syekh Jalaluddin Al-Aidit, Datu Rajalelo, Datu Selang Kota, Datu Muslim, Datu Lela dan Datu Panjang. Syekh Umar Al Bantami hadir di periode Sultan Nuruddin Abubakar Ali syah. Begitu cintanya kepada sang guru, Nuruddin berwasiat agar dimakamkan disamping gurunya di kompleks Makam Tolobali. 

Pada masa awal kesultanan ini ditulis mushaf Alquran Nontogama yang sampai saat ini tersimpan di Museum Samparaja. Penulisan Nontogama adalah ide dan kreatfitas luar Biasa dari para guru untuk menuntun ummat ke jalan “Siratal Mustaqim ” sehingga Alquran ini diberi nama Nontogama( Jembatan Agama).

Penggunaan istilah Nontogama merupakan ciri dari proses pribumisasi Islam yang dilakukan oleh Sultan dan para Ulama. Rakyat didekatkan dengan istilah-istilah yang mudah mereka serap. 
Pada era awal penyebaran islam di Bima tak luput dari peran Syekh Nurul Mubin dan Guru Bura di Sape. Syekh Nurul Mubin atau Ama Bibu merupakan sosok yang cukup masyhur di daerah Bima khususnya di Sape. Beliau dianggap sebagai salah seorang ulama pembawa Islam di Sape yang kemudian menyebar ke daerah lainnya di Bima. Dr. Syukri Abubakar dalam artikelnya menyebut, Syaikh Nurul Mubin berasal dari keturunan Sayyid Adam yang tinggal di kampung Gajah Makkah al-Mukarramah. Syaikh Nurul Mubin datang ke Sape dengan menaiki kuda, diperkirakan pada akhir abad  XVII awal abad  XVIII Masehi. Tempat pertama yang disinggahi adalah Sori Jo. Guru Bura adalah da’i kelana yang berdakwah menggunakan Patu Mbojo dalam bentuk zikir sehingga dikenal Ziki Guru Bura dan kitab Guru Bura. Di desa Rai Oi Sape dan sekitarnya masih lestari alunan ziki guru bura dalam setiap hajatan warga.

Pada periode Sultan selanjutnya mulai dari Jamaluddin, Hasanuddin. Alauddin, Komalasyah, Abdul Kadim, Abdul Hamid, Ismail, Abdullah hingga Abdul Azis syiar islam terus diperkuat hingga ke Manggarai melalui para ulama yang dikirim oleh kesultanan Bima. Pada masa sultan Alauddin hadir Syekh subuh dari Dompu penulis mushaf La Lino yang saat ini menjadi koleksi Baitul Quran Taman Mini Indonesia Indah. 

Penamaan La Lino pada mushaf alquran itu bermakna sufistik. Secara etimologi, Lino berarti membasahi atau mengairi. Kata “Lino” dalam pengertian Bima berarti tumpah ruah, memenuhi dan menaungi. Lino adalah ungkapan yang menjurus kepada air dan hamparan samudera yang luas. Nama yang mengarah ke air adalah kerangka syariat. La Lino adalah nama yang berwawasan syariat ( Muslimin Hamzah, Ensiklopedia Bima, 50).

Menurut para sufi, syariat adalah jalan menuju sumber air. Jasmani manusia dan seluruh mahluk hidup membutuhkan air untuk kelangsungan hidupnya. Ruhaninya pun membutuhkan air kehidupan. Alqur’an menguraikan, seandainya segala pepohonan yang ada di muka bumi ini dijadikan kalam, dan lautan ditambah tujuh lautan lagi dijadikan tintanya, tak akan ada habisnya kalimat Allah itu. Sungguh Tuhan Maha Perkasa, Maha bijaksana (QS.31: 27). 

“Air” dalam perjalanan jiwa menuju tuhan dilukiskan oleh Jalaluddin Rumi hingga Muhammad Iqbal. Analisis Schimel dalam karya Rumi, Diwan mengungkapkan, perjalanan itu akan membawa jiwa manusia ke puncak-puncak “kibriya” yang bercahaya, yaitu keagungan tuhan, dan akhirnya ke’adam’,jurang Zat Ilahi yang tiada batasnya.(Schimel, dalam Diwan Jalaluddin Rumi).

Bersambung.......

Penulis: Budayawan Bima "Alan Malingi"