Dana Mbojo Negeri Para Guru (Part II)

Header Menu

Cari Berita

Iklan Media



Dana Mbojo Negeri Para Guru (Part II)

Senin, November 22, 2021

Bima, Potretntb.com -- Putera Syekh Subuh, Abdul Gani Al - Bimawi  Al – Jawi menjadi guru para ulama nusantara dan imam di Masjidil Haram pada abad XIX Masehi. Pengaruh Abdul Gani di Mekkah cukup luas. Nasab Syekh Subuh dan Abdul Gani adalah dari Syekh Abdul Karim Al- Bagdadi yang melahirkan syekh Ismail, Syekh Subuh, Abdul Gani, Syekh Mansyur, Syekh Mahdali dan Syekh Muhammad. 

"Mereka adalah ulama Dompu dan Bima yang memiliki karomah". 

Karomah Abdul Gani terpatri dalam tutur masyarakat Jawa dan Madura. Diceritakan ketika KH.Hasyim As’ari naik Delman. Karena Kuda agak lamban larinya, Sang Kusir memukul kuda itu. Kiai kharismatik itu pun bertanya.
“Kuda darimana neh ?“
“Ini Kuda Bima Pak Kiai. “Jawab Sang Kusir.
“Guru Saya Orang Bima, jangan sakiti kudanya. “KH.Hasyim As’ari turun dari Delman dan menuntun kuda itu sampai ke rumahnya.

Cerita serupa juga ketika kiai Kholil pulang dari Mekkah beliau dijemput oleh keluarga dan banyak santri. Begitu banyaknya yang menyambut di pelabuhan dan untuk beliau disiapkanlah kereta terbaik dan kuda terbaik yang ada. Begitu beliau turun dari kapal dipersilahkan naik di kereta yang sudah disiapkan. Luar biasa terharunya beliau disambut banyak sanak dan santri dan disiapkan kendaraan terbaik. Ketika baru saja duduk di kereta beliau bertanya,
"Bagus sekali kereta ini dan kudanya juga besar serta tampak kuat".
"Iya Kiai, kudanya ini dari Bima", kata kusir. Begitu mendengar jawaban itu Kiai langsung turun dan minta dicarikan kendaraan lain untuk kembali ke rumah beliau tanpa memberikan alasan. Lama berselang setelah itu orang banyak baru memahami, bahwa Kyai Kholil sangat menghormati guru beliau Syeh Abdul Gani, sehingga kuda dari Bimapun segan beliau tumpangi keretanya. 

Pada periode Sultan Abdul Hamid hingga Ismail, hadir Khatib Lukman, seorang melayu yang menjadi imam kesultanan Bima. Khatib Lukman juga seorang penulis yang memberi kontribusi besar terhadap sastra melayu di Bima. Karyanya dirangkum oleh Henri Chambert-Loir dalam buku syair kerajaan Bima. Dalam syair itu dikisahkan tentang letusan gunung Tambora, Bajak Laut di Pulau Sangiang, wafatnya sultan Abdul Hamid hingga penobatan Sultan Ismail Syair khatib lukman telah banyak dikreasi dalam musikalisasi puisi hingga salah satu lagu Iwan Fals.Pada periode ini juga lahir kitab Nurul Mubin hingga Jauharat Al-Ma’rif yang ditulis oleh Haji Nur Hidayatullah al-Mansur Muhammad Syuja’uddin, yang dirujuk dari kitab Syamsul Ma’arifil Kubra karya Ahmad Ibn ‘Ali al-Buni.

Pada era Sultan Ibrahim hingga Muhammad Salahuddin bertaburan guru dan ulama lokal sebagai buah dari proses islamisasi yang sangat panjang. Kebijakan Bea siswa dan pembangunan rumah wakaf di Mekkah meningkatkan minat putera Bima untuk belajar ke Jawa dan luar negeri. Tersebutlah sejumlah nama ulama dan pejuang Bima seperti  H.Muhammad Nur Rabangodu, H. Abdul Malik Ngali,H. Abdurahman Idris ( Tuan Imam), H. Abubakar( Ngali), H. Muhammad Said( Ngali),H.M. Saleh Bakry, H. Ishaq A. Qadir Rabangodu, H.Usman Abidin, H. Zahruddin Rontu,H. Muhammad Bin Umar Sape, H. Abubakar Husain,H.M.Tayib Abdullah,  H. Muhammad Amin bin Ismail, KH. Abdullah Bin Muhammad Rabangodu, H. Marjuli Sape,  H.Muhammad Ali Bin Yunus, KH. Muhammad Said Amin, H. A. Gani Masykur, H. Muhammad Hasan BA, H. Abdul Karim Dodu, H. Ibrahim Ntobo dan lainnya. Tersebut juga ulama luar Bima pada masa sultan Muhammad Salahuddin seperti Syekh Hasan Shihab dari Betawi, syekh Muhammad dari Dompu. 

Di Era Sultan Muhammad Salahuddin, dunia pendidikan cukup maju baik pendidikan agama maupun pendidikan umum. Sekolah agama berkembang tidak hanya di kota kesultanan, tetapi di seluruh pelosok Bima.Tercatat dalam sejarah sejumlah sekolah agama seperti Darul Ulum Raba dan Darul Ulum Bima serta sejumlah Sakola Kita atau Sekolah Kitab di pelosok kecamatan. Pendidikan umum juga digalakkan dengan mendatangkan para guru ilmu pengetahuan umum dari luar Bima. Guru-guru beragama nasrani juga dihadirkan di Bima seperti HBS Yuliance dan lainnya.

Dari perkembangan yang ada, maka Bima saat itu menjadi kota pendidikan dan menjadi spektrum sunda kecil setelah Singaraja Bali. Putera Mahkota Ternate juga menempuh pendidikan di Bima. Maka tidak heran Buya Hamka mengemukakan jika ingin belajar islam, maka datanglah ke Bima. Pada kesempatan lain Hamka juga mengungkapkan hanya ada dua spirit hidup orang Bima yaitu menyekolahkan anak dan naik haji. Bung Karno pun mengakui spirit pendidikan orang Bima. Pada saat kunjungannya tanggal 30 November 1945, Bung Besar menitip pesan “Gantungkanlah Cita-Citamu Setinggi langit, Jika engkau jatuh, maka engkau hanya jatuh di antara bintang-bintang. “Hal itu cukup berdasar karena ketika masa pembuangannya di Ende (1934-1939) Bung Karno bertemu dengan para ulama Bima seperti Tuan Guru Husen, H. Nurdin Sila, H. Saleh Banjar dan lainnya.  

Setelah bergabung dengan NKRI, Bima betul-betul menjadi gudang guru. Bukan saja guru agama islam, tetapi guru pendidikan umum dan guru olahraga. Orang Bima merantau kemana-mana dan taget akhir kebanyakan bercita-cita menjadi guru. Urutan kedua adalah menjadi polisi tentara dan pegawai negeri. Jiwa tarung orang Bima dalam menuntut ilmu sangat tinggi. Dengan segala keterbatasan para pelajar dan mahasiswa Bima menjadi perantau nekat. Mereka nyambi menjadi guru ngaji di rantau, tidur di masjid dan mushala. Alhamdulillah mereka menjadi tokoh besar baik di Bima maupun di tanah rantau. 

Era 70 an Bima surplus guru.Tamatan SGO( Sekolah Guru Olahraga) dan SPG( Sekolah Pendidikan Guru) dan PGA (Pendidikan Guru Agama) dikirim ke Lombok dan daerah lainnya untuk mengabdi menjadi guru. Hingga saat ini para guru dari Bima beranak pinang di Lombok dan menjadi bagian dari keluarga Sasak. Naniek L.Taufan menulis dalam Demi Masa Kenangan Perjalanan Karir  Dr. Hj. Siti Maryam Salahuddin, di era 70a an hingga 80 an banyak guru-guru dari Bima dikirim ke Lombok sewaktu beliau menjadi Asisten III di Pemprop NTB. 

Bersambung.......

Penulis: Budayawan Bima "Alan Malingi"