Peran Kesultanan Bima Dalam Perang Makassar (Part IV)

Header Menu

Cari Berita

Iklan Media



Peran Kesultanan Bima Dalam Perang Makassar (Part IV)

Rabu, Desember 22, 2021

Bima, Potretntb.com -- Keterlibatan Sultan Abil Khair Sirajuddin bersama pasukannya dalam Perang Makassar setidaknya dipicu oleh faktor-faktor berikut:

Pada tahun1654 VOC di bawah Komandan Roos menyerang Bima dan menimbulkan 400 korban, baik yang meninggal maupun yang ditangkap oleh VOC. Hal ini tentu saja membuat Sultan Abil Khair Sirajuddin marah dan menyimpan dendam kepada VOC Belanda.

Bima sudah terikat dengan Gowa akibat perjanjian antara La Ka’i (Sultan Abdul Kahir) dengan Sultan Gowa Ala’uddin ketika La Kai meminta bantuan Sultan Ala’uddin untuk mengalahkan Mantau Asi Peka. Dalam persepsi Kesultanan Gowa, Bima adalah salah satu palili’ milik Gowa.

Kakek Sultan Abil Khair Sirajuddin dari pihak ibu adalah Karaeng Kasuarang, seorang bangsawan tinggi Gowa. Sedangkan istrinya adalah Karaeng Bonto Je’ne yang merupakan saudara kandung Sultan Gowa Hasanuddin. Sehingga wajar jika Sultan Abil Khair Sirajuddin terikat secara emosional dengan Gowa dan merasa wajib membela Gowa dari musuh-musuhnya.

Selepas dikalahkan oleh Speelman, Sultan Abil Khair Sirajuddin ditawan di dalam kapal milik armada VOC yang dipimpin Speelman. Selama tujuh bulan lamanya, ia dan rekan-rekannya mendekam dalam tahanan Speelman. Ketika armada Speelman berangkat ke Ternate dalam rangka menggalang dukungan Sultan Ternate Mandarsyah untuk melawan Gowa, Sultan Abil Khair Sirajuddin dan rekan-rekannya pun turut dibawa serta dalam sebuah kapal bernama Vlieland. 

Selama dalam tawanan Speelman itulah Sultan Abil Khair Sirajuddin bersumpah terhadap Perdana Menteri Dompu Abdul Rasul. Sumpah ini terjadi pada bulan Juli 1667. Sultan Abil Khair Sirajuddin berkata kepada Sultan Ahmad: “Hai, Raja Dompu, bahwa sekarang ini hendaklah aku bejanji dan bersumpah dengan segala saudaraku yang bersama-sama merasai kesakitan dalam kapal ini. 

Meski nenekmu tujuh hari jua merasai kesakitan di Sangia ada juga sumpahan dengan segala saudaranya, istimewa pula kita merasai kesakitan tujuh bulan lamanya maka tiada sumpah. Maka sekarang hendaklah aku bersumpah dan berjanji dengan dia. Adapun aku dengan segala saudaraku yang bersama-sama dalam kapal ini seperti orang satu ibu beserta keluar dari dalam satu peti, tiada terdahulu dan tiada terkemudian dan tiada tinggi dan tiada rendah, dan tiada besar dan tiada kecil, dan tiada hamba dan tiada tuan.” (Chambert-Loir dan Salahuddin, Bo Sangaji Kai, 2012, hal. 131).

Selama tujuh bulan itu, agaknya Speelman mencoba mendekati dan menjinakkan para sultan dan bangsawan  yang ia tawan. Mungkin ia berharap mereka mau bekerja sama dengan kompeni. Menurut G.J. Helds (1955), saat itu Speelman mengizinkan Sultan Abil Khair Sirajuddin untuk mengirimkan surat ke Bima melalui kapal yang akan berangkat ke sana. 

Pada suatu hari, Speelman hendak mengumpulkan mereka di kapalnya. Maka datanglah Karaeng Bontomaranu dan kawan-kawannya ke kapal Speelman dengan menaiki sebuah sekoci yang diberi nama doradus yang dikawal oleh Sembilan orang prajurit kompeni. Namun di tengah perjalanan, mereka menyerang para prajurit kompeni tersebut dan membunuhnya. Karaeng Bontomaranu dan para sultan dari Pulau Sumbawa pun menganyuh sekoci itu ke daratan dan segera bergabung dengan induk pasukan Gowa di daratan. Dapat diduga kuat bahwa Sultan Abil Khair Sirajuddin masih terlibat dalam berbagai pertempuran yang mewarnai lanjutan Perang Makassar ini dari pertengahan tahun 1667 hingga pertengahan tahun 1669.

Setelah seluruh karaeng di Gowa menyerah pada tanggal 27 Juni 1669, Sultan Abil Khair Sirajuddin, Perdana Menteri Dompu Abdul Rasul, dan raja-raja di Pulau Sumbawa kembali ke negerinya masing-masing. Kelak, pada tahun 1671, Karaeng Bontomaranu akan datang ke Bima dan selama beberapa bulan tinggal di Sektor Bolo, di kampung yang sekarang bernama Dusun Bontoranu. Ia tidak sudi menyerah kepada Belanda dan berniat melanjutkan perlawanan sendiri.

Ia diperkirakan meninggalkan Mandar (Sulawesi) pada awal atau pertengahan tahun 1671 dan pada tanggal 19 Agustus 1671 ia muncul di Banten bersama 800 orang pengikutnya (Andaya, The Heritage of Arung Palakka, 1981, hal. 211). Ia menuju Kesultanan Banten dengan tujuan menggalang kerja sama melawan VOC. Namun di luar rencana semula, akhirnya ia terlibat dalam pemberontakan Raden Trunojoyo yang ingin menggulingkan mertuanya sendiri, Sultan Mataram Amangkurat I (1646-1677) yang merupakan teman dekat VOC Belanda.


Penulis: Faisal Mawa'ataho